Agama tidak hanya mengajarkan percaya
pada tuhan saja. Di dalamnya ada tuntunan dan aturan-aturan yang harus
dipatuhi. Ada kewajiban yang harus dijalankan, baik itu kewajiban kepada
sesama manusia maupun kewajiban kepada tuhan. Standart pribadiku
kewajiban untuk berbuat baik kepada sesama manusia bisa hanya sebatas
tidak merugikan orang lain. Tidak mengganggu orang lain dan tidak
mengambil alih hak-hak orang lain. Dan lagi kita bisa berimprovisasi
sendiri meningkatkan nilai diri lewat membantu orang lain.
Shalat adalah salah satu ibadah yang paling diwajibkan oleh tuhan.
Waktu usiaku 7 tahun,
aku merasa tidak berkewajiban untuk menunaikan ibadah shalat. Karena
dulu, aku percaya kalau katanya dosa anak yang belum baligh (dewasa) itu
ditanggung oleh orang tua. Pasalnya, orang tua lah yang berkewajiban
mendidik anaknya. Ya, sesekali aku shalat karena cinta pada orang tua.
Takut kalau mereka harus masuk neraka karena aku tidak shalat. Padahal
hakikatnya kalimat “dosa ditanggung oleh orang tua” itu adalah agar anak
jadi rajin beribadah, karena biasanya anak-anak akan mencintai orang
tuanya dan tidak mau kalau orang tuanya masuk neraka.
Menginjak usia 13 tahun,
aku juga belum shalat. Lah, kan aku belum baligh. Jadi belum menanggung
dosa sendiri. Masih ada orang tua yang bisa dijadikan tameng dari
dosa-dosa. Lagipula di usia itu adalah saat yang paling enak untuk
bermain dengan teman sebaya. Bermain sepak bola, kejar-kejaran.
Di usia 17 tahun, aku
tahu aku sudah menanggung dosa sendiri. Karena sudah baligh, sudah mimpi
“naik ke bulan”. Sebuah istilah yang aku tidak tahu apa artinya. Tapi
aku baru “naik ke bulan” selama dua tahun. Jadi dosaku masih dua tahun,
masih sedikit. Jadi, umur 20 tahun nanti lah aku akan mengganti shalat
yang tertinggal itu.
Di usia 20 tahun, aku
mulai mempertanyakan agamaku. Aku sudah masuk kuliah dan harus kritis.
Jadi aku bertanya tentang tuhan, tentang kitab suci, tentang nabi dan
tentang kebenaran dari semuanya. Aku tidak mungkin shalat dalam keadaan
labil. Aku harus menemukan jati diriku.
Di usia 24 tahun, aku
selesai kuliah. Agamaku telah mulai kuyakini. Tapi kini aku tengah sibuk
mencari kerja. Jadi aku sibuk kesana kemari. Mencari lowongan,
menyiapkan berkas lamaran. Dan itu melelahkan sekali. Aku tidak memiliki
waktu untuk shalat. Shalat sih sebentar saja, tapi kadang terlalu
sering menginterupsi.
Di usia 25 tahun. Aku belum mendapat kerja. Aku menggugat tuhan. Aku telah berusaha, tapi aku tidak mendapatkan. Aku jadi tidak mau shalat.
Di usia 27 tahun. Aku
sudah bekerja di sebuah perusahaan ternama. Posisiku juga lumayan. Tapi,
sibuknya bukan main. Sebentar-sebentar HP berdering. Lagi pula aku
tengah pedekate dengan seorang gadis pujaan. Dengan seabrek kesibukan
itu, mana sempat aku shalat.
Usiaku beranjak 30
ketika anak pertamaku lahir. Duh senangnya, karirku juga makin mapan.
Namun, kesibukan makin merajai. Aku harus mengejar setiap kesempatan
untuk masa depan keluargaku. Pertumbuhan anakku juga menyita perhatian
yang besar, aku juga harus menyekolahkan anakku ke sekolah umum dan
agama agar kelak ia berguna bagi bangsa dan agamanya.
Di usia 35, anak
keduaku lahir. Dia wanita, cantik sekali. Bahkan sering aku memandikan
dan menggantikan popoknya. Hidupku serasa lengkap sekali. Tapi, biaya
hidup makin meningkat. Orang tuaku juga sudah mulai sakit-sakitan dan
butuh biaya berobat. Aku harus makin rajin bekerja untuk menafkahi
mereka. Sholat masih bisa kumulai di usia 40 nanti, pikirku.
Di usia 40, entah
kenapa anakku tak seperti yang kuharapkan. Aku tak menyangka mereka bisa
senakal itu. Bahkan anak pertamaku pernah tertangkap karena menghisap
daun ganja. Daun surga katanya. Aku tak bisa konsentrasi untuk shalat.
Ada saja yang membuat aku tak pernah melakukan ibadah utama itu.
45 tahun kujalani. Aku
semakin lemah, tak sekuat dulu. Batuk sesekali mengeluarkan darah.
Istriku mulai rajin berdandan, sayangnya dia berdandan saat keluar rumah
saja. Di rumah, wajahnya tak pernah dipupur bedak sedikitpun. Aku
merutuk, dosa apa yang telah aku lakukan hingga hidupku jadi begini?
Usiaku menginjak 55,
aku berpikir kalau usia 60 nanti adalah waktu yang tepat untuk memulai
shalat. Saat aku sudah pensiun dan aku akan tinggal di rumah saja. Saat
itu adalah saat yang tepat sekali untuk menghabiskan hari tua dan
beribadah sepenuhnya kepada tuhan.
Tapi aku sudah lupa bagaimana cara
shalat. Aku lupa bacaannya. Aduh, aku harus mendatangkan seorang ustadz
ke rumah seminggu 3 kali. Tapi aku tak kuat lagi untuk mengingat.
Ingatanku tak setajam ketika dulu aku kerap juara lomba di kampus atau
sekolah. Atau ketika manajer perusahaan salut pada tingkat kecerdasanku.
Kali ini semua telah pudar. Jadi, apa yang diajarkan ustadz itu sering
membal dari telingaku. Lagipula, badanku sudah tak begitu kuat untuk
duduk lama-lama.
Kalau tidak salah, kali itu usiaku 59 tahun
ketika istriku minta cerai. Alasannya tak lagi jelas kuingat, salah
satunya katanya karena lututku tak kencang lagi bergoyang. Lucu ya?
Entah kenapa juga dulu aku menikahinya, umurnya 20 tahun lebih muda
dariku. Dia memang istri keduaku. Istri pertamaku dulu hilang, dibawa
sahabatku.
Tak sampai usiaku 60,
aku masih berusaha untuk shalat. Tapi serangan jantung membuat rumah
mewahku ramai. Mereka terlihat menangis. Bahkan anak pertamaku yang
membangkrutkan satu perusahaan keluargaku terlihat begitu tertekan. Ada
kata yang sepertinya ingin dia ucap.
Terakhir aku akhirnya bisa
shalat juga, sayangnya aku tidak shalat dengan gerakku sendiri. Aku
hanya terbaring atau terbujur tepatnya. Dan orang-orang menyalatkanku.
sumber : otakkacau.net
0 komentar:
Posting Komentar
setelah baca, jangan lupa komentar ya.....