Sebuah
studi sebelumnya melaporkan bahwa Orang-orang Tibet secara genetika
telah beradaptasi pada ketinggian yang ekstrim. Sekarang, kurang dari
satu bulan yang lalu, studi yang kedua dari para ilmuan Tiongkok,
Inggris, Irlandia, dan Amerika Serikat telah menemukan dengan tepat
satu posisi tertentu dalam genom manusia; yaitu suatu varian genetika
yang berkaitan dengan hemoglobin yang rendah pada darah- yang membantu
menjelaskan bagaimana orang-orang Tibet mengatasi keadaan rendah
oksigen.
Studi
itu menunjukkan titik terang pada bagaimana orang-orang Tibet, yang
hidup pada ketinggian yang ekstrim selama lebih dari 10.000 tahun,
telah berevolusi sehingga berbeda dengan nenek moyang meraka yang
tinggal di dataran rendah.
Tekanan
udara yang lebih rendah pada dataran tinggi berarti molekul oksigen
lebih sedikit untuk setiap udara yang diserap. “Ketinggian berpengaruh
pada pikiran Anda, pernafasan Anda, dan kemampuan Anda untuk tidur.
Tetapi Orang-orang asli yang tinggal pada ketinggian yang ekstrim tidak
mempunyai masalah ini,” Kata co-author Cynthia Beall dari Case Western
Reserve University. “Mereka mampu hidup pada kehidupan yang sehat, dan
mereka menjalani secara sempurna dan nyaman,” Kata Beall.
Orang-orang
yang tinggal dan bepergian ke dataran tinggi yang ekstrim merespon
berkurangnya kadar oksigen dengan membuat lebih banyak hemoglobin yang
merupakan komponen pembawa oksigen dalam darah manusia. “Itulah mengapa
para atlit berlatih pada dataran tinggi. Mereka meningkatkan kapasitas
komponen pembawa darah mereka,” kata Beall.
Tetapi
terlalu banyak hemoglobin dapat menjadi sesuatu yang buruk. Hemoglobin
yang berlebihan adalah pertanda dari penyakit pegunungan yang kronis,
sebuah reaksi yang berlebihan pada ketinggian yang dicirikan dengan
pekat dan kentalnya darah. Orang-orang Tibet menjaga kondisi rendahnya
hemoglobinnya yang merupakan suatu upaya untuk menjaga agar tidak
begitu rentan terhadap penyakit seperti penduduk non Tibet.
“Orang-orang
Tibet bisa hidup setinggi 13.000 kaki tanpa meningkatnya konsentrasi
hemoglobin seperti yang kita lihat pada orang-orang lain,” kata Beall.
Untuk
menunjukkan secara tepat varian-varian genetika yang mengarisbawahi
tingkat hemoglobin yang relatif rendah dari Orang-orang Tibet, para
peneliti mengumpulkan sampel-sampel darah dari hampir dua ratus
orang-orang kampung di Tibet yang hidup di daerah tinggi di Himalaya.
Ketika para peneliti membandingkan DNA orang-orang Tibet dengan
orang-orang yang hidup di dataran rendah di Tiangkok, hasil penelitian
mereka menunjukkan dengan akurat ternyata DNA mereka tidak sama- yaitu
sebuah gen pada kromosum 2 yang disebut EPAS1, yang terkadung dalam
produksi sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin dalam darah.
Bekerja
secara terpisah, para peneliti dari studi yang pertama menetapkan
temuan mereka secara bersama-sama pada pertemuan Maret 2009 pada
National Evolutianary Synthesis Center di Durham, NC. “Beberapa orang
dari kita telah meneliti pada keseluruhan DNA orang-orang Tibet. Yang
lainnya telah melihat pada sekelompok kecil dari gen. Ketika kita
saling berbagi temuan tiba-tiba kita menyadari bahwa kedua studi
tersebut menghasilkan hasil yang sama yaitu EPAS1,” kata Robbin,
pengagas pertemuan dengan Beall.
Sementara
seluruh manusia mempunyai gen EPAS1, orang-orang Tibet mempunyai versi
gen yang spesial. Melalui proses evolusi yang panjang,
individu-individu yang mewarisi jenis gen ini mampu bertahan dan
menurunkannya pada anak-anak mereka, sehingga jenis gen spesial ini
menjadi sesuatu yang sudah lumrah di seluruh penduduk.
“Inilah
tempat gen manusia pertama yang merupakan bukti nyata tentang adanya
seleksi genetika di Tibet,” kata co-author Peter Robbins dari Oxford
University.
Para
peneliti masih mencoba memahami bagaimana orang-orang Tibet mendapatkan
oksigen yang cukup pada jaringan tubuhnya walaupun pada kadar oksigen
yang rendah dalam udara dan aliran darah. Sampai kemudian,
petunjuk-petunjuk genetika yang tebuka lebih luas nampaknya menjadi
akhir dari kisah ini. “Mungkin ada lebih banyak tanda-tanda yang bisa
dikenali dan dijelaskan,” kata co-author Gianpiero Cavalleri dari Royal
Collage of Surgeon di Irlandia.
Bagi
mereka yang hidup dekat dengan ketinggian permukan laut, temuan-temuan
itu mungkin suatu hari akan membantu memprediksikan siapa yang berada
pada resiko yang tertinggi terkena sakit akibat ketinggian. “Sekali
kita menemukan versi-versi ini, pengujian-pengujian bisa dikembangkan
untuk menjelaskan bahwa seorang individu peka terhadap rendahnya kadar
oksigen,” kata co-author Changqing Zeng dari Beijing Institute of
Genemics.
“Beberap
pasien, tua dan muda, dipengaruhi oleh tingkat rendahnya kadar oksigen
dalam darah mereka- barangkali karena penyakit paru-paru, atau ada
masalah dalam jantung. Beberapa orang bisa mengatasi lebih baik dari
yang lain,” kata co-author Hugh Montgomery, dari University College
London. “Studi-studi seperti ini adalah titik awal yang membantu kita
memahami ”kenapa” dan mengembangkan pengobatan baru.”(Erabaru/Isw)
Catatan : Cerita ini diadaptasi dari sebuah News release yang diterbitkan oleh The National Evolutionary Synthesis Center.
sumber : sourceflame.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar
setelah baca, jangan lupa komentar ya.....