Jika
di negara lain, hal-hal berikut di bawah ini sudah pasti termasuk
tindak kejahatan atau pelanggaran hukum. Namun benarkah hal tersebut
tidak ber-arti apa-apa di Indonesia dan benar-benar dapat dimaklumi?.
Gerangan mengapa terjadi demikian?
1. Pembajakan
Studi
IDC menyebutkan tingkat pembajakan di Indonesia dialami sebesar 85%
dengan potensi kerugian sebesar US$544 juta pada 2008. Jika
dibandingkan 2007 naik sebesar 1% dari 84% dengan potensi kerugian
sebesar US$411 juta. Dengan hasil 85% tersebut, Indonesia berada di
posisi ke-12 dari 110 negara di dunia yang menjadi subjek penelitian.
Persentase Indonesia ini sama dengan Vietnam dan Irak.
2. Pelanggaran lalu lintas “yang ringan-ringan”
Tingginya
pelanggaran lalu lintas bisa dilihat dari angka pelanggaran yang terus
meningkat. Data di Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya tercatat
catat 589.127 kasus selama tahun 2008 hingga awal 2009, atau rata-rata
sehari sekitar 1.000 lebih terjadi pelanggaran. Dari angka tersebut,
sekitar 60% dilakukan pengendara sepeda motor, 30% angkutan umum baik
Mikrolet, Bis, Metromini dan lainnya, 10% sisanya mobil pribadi. Angka
pelanggaran yang tercatat di kepolisian tersebut jauh lebih rendah dari
yang sesungguhnya.
3. Pernikahan di bawah umur
Laporan
Pencapaian Millennium Development Goal’s (MDG’s) Indonesia 2007 yang
diterbitkan oleh Bappenas menyebutkan, bahwa Penelitian Monitoring
Pendidikan oleh Education Network for Justice di enam desa/kelurahan di
Kabupaten Serdang Badagai (Sumatera Utara), kota Bogor (Jawa Barat),
dan Kabupaten Pasuruhan (Jawa Timur) menemukan 28,10% informan menikah
pada usia di bawah 18 tahun. Mayoritas dari mereka adalah perempuan
yakni sebanyak 76,03%, dan terkonsentrasi di dua desa penelitian di
Jawa Timur (58,31%).
Angka
tersebut sesuai dengan data dari BKKBN yang menunjukkan tingginya
pernikahan di bawah usia 16 tahun di Indonesia, yaitu mencapai 25% dari
jumlah pernikahan yang ada. Bahkan di beberapa daerah persentasenya
lebih besar, seperti Jawa Timur (39,43%), Kalimantan Selatan (35,48%),
Jambi (30,63%), Jawa Barat (36%), dan Jawa Tengah (27,84%).
4. Hakim Sendiri
Sebagai
illustrasi kasus dapat kita segarkan kembali ingatan kita pada
peristiwa hukum main hakim sendiri, antara lain : Perististiwa
Pembunuhan dukun santet di Jawa-Timur, lebih kurang 200 orang
dieksekusi mati tanpa proses hukum ; Komplik di Sambas dan Poso di
Sulawesi ; Kerusuhan di Maluku ; Kekerasan di NAD ; Pengrusakan
beberapa toko, kios dan rumah oleh mereka yang diketahui berpakaian
ninja di DIY ; dan yang paling pahit untuk dikenang adalah perkelahian
antara sesama anggota DPR RI pada pembukaan sidang tahunan 2001 pada
tanggal 01 Nopember 2001 yang langsung disaksikan oleh ratusan juta
rakyat Indonesia melalui layar kaca.
Semua
fenomena tersebut menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kita cenderung
menyiapkan kekuatan phisik sebagai langkah antisipasi dalam
menyelesaikan setiap masalahnya ketimbang menggunakan jalur hukum yang
mereka nilai tidak efektif. Budaya main hakim sendiri pada
perkembangannya akan melahirkan cara-cara lain seperti teror baik
dengan sasaran psikologis maupun phisik, atau yang lebih halus seperti
intimidasi, pembunuhan karakter dan lain sebagainya.
5. Buang Sampah Sembarangan
Pemandangan
yang namanya sampah itu sudah merupakan kenyataan sehari-hari. Banyak
orang membuang sampah sembarangan, dari yang berpendidikan tinggi
sampai yang rendah, dari yang kaya sampai yang miskin, dari mereka yang
(maaf) menjabat sampai yang tidak menjabat. Sampai-sampai ada orang
yang menyatakan bahwa buang sampah sembarangan sudah menjadi tradisi
atau budaya.
Yah,
memang masalah sampah bagaikan lingkaran setan yang tidak ada
putus-putusnya. Penanganan sampah gampang-gampang susah. Gampang jika
kita semua sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Gampang jika
fasilitas persampahan untuk cukup dan terpelihara. Gampang jika semua
aturan mengenai persampahan ditegakkan. Gampang jika semua petugas
bekerja penuh semangat. Susah, ya jika sebagian besar masyarakat suka
buang sembarangan. Susah jika aturan tidak ditegakkan. Susah kalau
fasilitas tidak cukup dan tidak dipelihara. Susah kalau kita saling
tuding, saling menyalahkan, saling berlepas diri.
6. Pemukiman di sembarang tempat
Pengaruh
pertambahan penduduk di lingkungan perkotaan terhadap kehidupan
masyarakat, dapat bersifat positif bersifat negatif. Yang paling banyak
disoroti oleh para perencana kota adalah pengaruh negatif pertambahan
penduduk, antara lain terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut
sebagai slum area. Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan
banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya
berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit
sosial lainnya. Disamping itu, Mc Gee (1971) memandang bahwa
perpindahan penduduk ke kota sering mengakibatkan urban berlebih yang
pada akhirnya menimbulkan banyak masalah yang berhubungan dengan
pengangguran, ketidakpuasan di bidang sosial dan ekonomi. Contoh :
Pemukiman di pinggir kali, di sekitar rel kereta api, dll.
7. Diskriminasi dan SARA
Sampai
saat ini para pelaku diskriminasi dan SARA masih terbilang kurang
terkena dampak hukum di Indonesia, makanya bisa dilakukan terus-menerus
dan berkelanjutan. Tragedi 13-15 Mei 1998 yang terjadi merupakan
peristiwa politik yang sadis, kejam dan melanggar Hak Asasi Manusia.
Tragedi tersebut tentunya tidak berhenti hanya sebagai problematika
rasial, tapi telah menjadi momentum pembenaran bagi lahirnya peristiwa
kekerasan-kekerasan berikutnya. Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II,
Ketapang, Kupang, Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan Barat, Poso,
Makassar, Medan, Mataram, Yogyakarta, Yayasan Doulos, Banyuwangi, dan
banyak lagi lainnya, hanya dilihat sebagai peristiwa politik yang layak
disesalkan, tapi tidak untuk dituntaskan penyelesaian hukumnya.
8. Pengemis
Tindakan
tegas yang dilakukan Dinas Sosial terhadap pemberi sedekah kepada
pengemis di jalan sesuai dengan Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang
Ketertiban Umum. Sanksi yang tercantum dalam perda cukup berat,
kurungan tiga bulan atau denda maksimal Rp 20 juta. Dan untuk si
pemberi sedekah akan didenda Rp 300 ribu.Operasi penertiban sosial
sudah menjadi agenda Dinas Sosial dalam menekan angka pengemis jalanan
yang terus meningkat tiap tahunnya, terutama menjelang puasa dan
Lebaran.
Contoh
: Sebanyak 75 mobil dinas anggota DPRD DKI Jakarta masa jabatan
2004-2009 belum dikembalikan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Padahal, para wakil rakyat itu sudah mengakhiri masa jabatannya pada
Selasa (25/8). Para anggota Dewan kecuali empat pimpinan Dewan diberi
fasilitas berupa mobil dinas Toyota Altis tahun 2007. Mobil itu dibeli
dengan menggunakan APBD DKI dan berfungsi sebagai mobil operasional.
Jadi, begitu anggota Dewan berhenti, mereka wajib mengembalikan mobil
tersebut. Masih banyak lagi sebenarnya seperti : Tidur saat rapat
paripurna, kasus suap dan korupsi, berkelahi sampai video porno, kalau
semuanya dibahas satu persatu tidak akan cukup di sini. Setidaknya
itulah gambaran negatif kelakuan para pejabat yang tidak perlu ditiru.
sumber : sourceflame.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar
setelah baca, jangan lupa komentar ya.....